Harga minyak dunia mengalami kejatuhan signifikan dan mencapai titik terendah sejak 2021, menyentuh angka di bawah US$60 per barel pada awal April 2025. Penurunan tajam ini memicu kekhawatiran pasar global, mendorong spekulasi baru tentang resesi dan ketidakpastian ekonomi dunia.
Berdasarkan data perdagangan terbaru, harga minyak Brent sempat merosot ke US$58,46 per barel, sementara WTI menyentuh US$58,95 per barel, sebelum akhirnya mengalami sedikit rebound. Ini merupakan penurunan paling tajam sejak pandemi COVID-19 meruntuhkan pasar energi global pada 2020.
Faktor-Faktor Pemicu Penurunan
Penurunan ini dipicu oleh beberapa faktor utama:
-
Lonjakan Produksi OPEC+
Kartel minyak dan sekutunya secara tak terduga meningkatkan produksi harian hingga lebih dari 400 ribu barel, melebihi ekspektasi pasar. Langkah ini menciptakan kelebihan pasokan yang menekan harga global. -
Kekhawatiran Resesi Global
Ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi di tiga kawasan utama dunia—Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok—memicu kekhawatiran permintaan minyak akan terus melemah hingga akhir tahun. -
Perang Dagang AS–Tiongkok
Konflik tarif yang kembali memanas sejak kuartal pertama 2025 memperburuk sentimen pasar energi. Investor global mengurangi eksposur di sektor energi karena ketidakpastian permintaan jangka menengah. -
Fluktuasi Nilai Tukar dan Ketegangan di Timur Tengah
Ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Iran serta ketegangan di Laut Merah turut menambah volatilitas, namun belum cukup untuk membalikkan tren bearish minyak.
Dampak Global dan Lokal
Penurunan harga minyak memberi efek campuran bagi negara-negara dunia. Negara konsumen seperti India dan Indonesia mendapatkan keuntungan dari potensi penurunan harga BBM dalam negeri. Namun bagi negara produsen seperti Venezuela, Nigeria, dan Arab Saudi, kondisi ini dapat memengaruhi neraca perdagangan dan fiskal secara signifikan.
Di Indonesia, Pertamina masih meninjau kemungkinan penyesuaian harga BBM subsidi dan nonsubsidi jika tren ini bertahan lebih lama. Pemerintah menyatakan akan berhati-hati karena penurunan harga juga bisa berdampak pada penerimaan negara dari sektor energi.
Proyeksi ke Depan
Analis memperkirakan harga minyak dunia akan bertahan di kisaran US$60–70 per barel hingga akhir 2025, dengan kemungkinan rebound hanya jika terjadi gangguan geopolitik besar. Namun dalam skenario ekstrem, seperti konflik bersenjata di Timur Tengah atau kebijakan pemangkasan besar oleh OPEC+, harga bisa melonjak kembali hingga US$95–110 per barel.
Kesimpulan
Harga minyak dunia yang anjlok menandai fase baru dalam dinamika energi global, menyoroti pentingnya ketahanan ekonomi dan diversifikasi energi bagi negara berkembang. Meski memberikan sedikit angin segar bagi konsumen, penurunan drastis ini juga mengingatkan bahwa pasar energi tetap sangat rentan terhadap gejolak politik dan ekonomi global.